Best Blogger Template

Sejarah Masyarakat Awal Ketapang



Sejarah merupakan kehidupan masyarakat dalam mencari jati dirinya untuk menyonsong masa depan. Berbagai pertanyaan mendasar yang rumit untuk dijawab, seperti siapa manusia pertama yang menghuni wlayah ketapang, bagaimana mereka mencapainya, bagaimana mereka hidup di ekosistem hutan hujan tropika ini, apa bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi, bagaimana adapt budaya, dan seterusnya. Singkatanya, dari mana kita berasal ?
Wilayah kabupaten ketapang yang terletak di pulau Kalimantan ini pada masa Glasial merupakan daratan yang dulunya tergabung denga wilayah Malaysia, Vietnam, Sumatra, Jawa, Palawan, Calamian, Luzon, Taiwan dan pulau kecil lainnya yang disebut Paparan Sunda. Keragaman flora dan fauna di daratan hutan hujan ini dalam beberapa hal memiliki kasamaan jenis. Kondisi lingkungan yang seragam ini mempengaruhi penyebaran manusia modern pertama di wilayah ini.
Untuk memahami tentang asalusul, penyebaran dan pemilihan populasi masyarakat Ketapang, kami mencoba mengambil pendekatan genetic, yang mengkaji penyebaran factor-faktor tertentu keturunan, antropologi biologis yang berkaitan dengan kajian fenotipe, konsep lingguistik dan adapt budaya sejaman dari para peneliti yang telah ada untuk seluruh kawasan Indo-Malaysia.
Populasi masyarakat Ketapang saat ini sangat beragam, sebagaimana semua populasi manusia di wilayah Kalimantan. Kergaman itu tercermin pada berbagai tingkat mulai dari pribadi-pribadi, kelompok entoliguistik, zona-zona geografi dan akhirnya ketingkat ras-ras utama.
Para ahli sejarah, arkeologi dan antropologi, sepakat bahwa untuk populasi-populasi Indo-Malaysia, termasuk wilayah Ketapang untuk 40.000 tahun terakhir secara Hirarki tradisional paling atas termasuk dalam dua ras utama, yaitu ras Australo-Malanesia (Austaloid) dan Mongoloid Selatan.
Data arkeologi dari Situs Gua Niah (Serawak) yang di temukan serangkaian kerangka bertarik karbon sekitar 40.000 tahun dan penemuan kerangka manusia di Tabon (Filipina) bertarik karbon 22.000 tahun, memberikan bukti yang disimpulkan oleh Belwood (1997) bahwa, suatu populasi Australo-Malanesia sebelumnya sudah ada di daerah-daerah yang di dukung oleh orang Mongoloid Selatan sejak setidaknya 1000 SM.
Sisa-sisa sejak leluhur orang Australo-Malanesia yang masih ada sekarang adalah Orang Asli, di Kelantan (Malaysia), yaitu orang Negrito yang berburu dan mengumpulkan makanan dan orang Senoi yang bertani. Kelompok Negrito menurut saha dkk (1995) memiliki kecendungan cirri yang sama dengan orang Australo-Malanesia.
Eofrafi rahasia masa kini di wilayah Ketapang dan wilayah lainnya di Indonesia tidak seluruhnya di sebabkan oleh evolusi local yang terjadi sejak manusia-manusia yang secara anatomis modern pertama memasuki kawasan ini, dan bukannya tanpa perpindahan populasi. Memang benar menurut Belwood (1997) bahwa semua populasi mengalami seleksi alamiah dan bila kelompok-kelompok yang beranak pinak itu kecil, mereka terutama akan mengalami hayutan genetic (genetic driff) yang mengakibatkan polimorfisme dengan terbentuknya kelompok-kelompok yang mempunyai cirri genetic khusus. Bentuk-bentuk pemilahan kelompok yang terjadi di tempat local (in situ) dalam populasi-populasi yang agak atau pun sama sekali terisolasi.
Penduduk wilayah Ketapang dan Kalimantan umumnya sebagian besar termasuk dalam cirri fenotipe Mongoloid Selatan dengan penutur bahasa-bahasa Autronesia. Semuanya memiliki cukup kesamaan baik secara fisik, budaya, maupun bahasa, meskipun selama 2.000 tahun terakhir mengalami pengaruh yang silih berganti dari peradaban Hindu-Budha, Cina, dan Islam.
Ciri-ciri populasi mongoloid menurut Coon (1966) adalah “bangsa-bangsa ini sebagian besar pendek, dengan kaum prianya mempunya tinggi antara 157 dan 160 cm, berperawakan sedang, berkulit kekuning-kuningan atau coklat, kebanyakan berambut lurus. Diantara sebagian besar dari mereka, jarang terdapat kelopak mata mongol, seperti orang-orang Austroloid, kebanyakan di antara meraka bergigi besar. Meraka mewakili satu campuran yang kurang lebih seimbang antara unsure-unsur Mongoloid dan Austroloid, dengan variasi-variasi local”.
Cirri-ciri keturunanAustralo-Melanesia menurut Belwood (1997) mungkin lebih nyata terlihat pada populasi-populasi yang dulu disebut Proto-Melayu. Kelompok ini memang di bedakan dengan Deutro-Melayu yang oleh beberapa ahli masih di anggap mewakili migrasi kedua yang memasuki kawasan Kalimantan dan terjadi lebih kemudian. Orang-orang yang disebut sebagai Proto-Melayu mancakup banyak orang pedalaman dari pulau-pulau lebih besar di Indonesia dan Filipina.
Ekspansi orang-orang mongoloid terus berlanjut sampai masa-masa sejarah, yang menyebabkan aliran-aliran gen Mongoloid terus memasuki Indonesia. Jelaslah bahwa yang dinamakan “Proto-Melayu”, sebenarnya adalah populasi di daerah-daerah lebih mudah di capai, sehingga mereka dapat melakukan lebih banyak kontak dengan dunia Mongoloid Asia. Sehingga jika  dimungkin situasi di Indonesia disederhanakan, dapat dikatakan bahwa Fenotipe Mongoloid mendominasi wilayah barat dan utara dan berangsur-angsur keselatan dan timur.
Pemilihan polulasi manusia berdasarkan indentifikasi garis genetic yng spesipik untuk populasi dalam asam deoksiribonukleat DNA mitokondia (DNAmt) pada kawasan Indo-Malaysia menunjukan arti penting China  bagian selatan sebagai kawasan utama bagi penyebaran manusia. DNAmt merupakan kode genetic atau genom yang diteruskan untuh dari ibu ke anak. Dan sebagian besar kromosom Y, yang menentukan laki-laki bepindah utuh dari ayah ke anak laki-laki. Mutasi yang di akumulasikan dalam DNAmt anda dan kromosom Y (untuk laki-laki) anda hanyalah laksana dua benang dalam permadani luas orang-orang memberi kontribusi terhadap genom anda.
Kode-kode genetika manusia atau genom menurut Siireeve (2006), adalah 99,9 % identik di seluruh dunia. Selebinya ialah DNA yang bertanggung jawab  terhadap perbedaan individual kita warna mata atau resiko penyakit, contohnya begitu pula sebagian DNA yang tidak begitu jelas fungsinya sama sekali. Suatu ketika dalam perubahan genetika yang DNA yang tidak berfungsi ini, yang kemdian diwariskan ke semua keturunan orang itu. Pada generasi-generasi berikutnya ditemukan bahwa mutasi yang sama atau pemetaan dalam DNA dua orang, menunjukan bahwa mereka memiliki leluhur yang sama.
Hasil penelitian keanekaragaman genetic Indosial yang dilakakuan oleh Lembaga Eijkman Jakarta telah memetakan bagaimana DNA yang unik pada setiap individu itu menyebar dan manggambarkan bak sebuah peta penggambarkan manusia di Kepulauan Indonesia. Hasil pemetaan itu mendukung teori penyebaran bahasan yang dianggap paralel dengan penyebaran variasi genetis manusia. Satu kelompok yang memilki bahasa yang sama, umumnya berasal dari nenek moyang yang sama pula.
Hasil pengujian DNA berbagai etnis di Indonesia tersebut menunjukan sekitar 60 ribu hingga 40 ribu SM terjadi migrasi manusia memasuki Indonesia dari daratan Asia, yang sisanya masih bias kita lihat di Papua dan daerah Alor yang berbahasa Malenesia. Diusul migrasi dari Formosa sekitar 3.000 tahun SM melewati Filipina, sulawesi, lalu menyebar ke Sumatra, Jawa, dan Kalimantan yang berbahasa Austonesia. Dari penelitian ini juga menunjukan ini  adanya migrasi balik dari Papua ke NTT, karena adanya campuran antara orang berbahasa Austonesia dengan Austroloid. Penampilan fisik orang-orang Alor di NTT sama dengan orang-orang Papua yang tergolong Austroloid dari berbahasa Malenesia. Aliran migrsi balik ini baik belum diletakan dalam peta migrasi yang selama ini diketahui secara luas.
Menuruh Herawati dari Lembaga Eijkman bahwa variasi mutasi genetic orang-orang Nias dan Mentawai ternyata berbeda dengan kebayakan orang Indonesia yang tiba pada masa migrasi dari Formosa, terutama dengan populasi di daerah Sumatra, Jawa dan Borneo yang dulu pernah menjadi satu. Variasi genetis itu menjelaskan bahwa mereka “Datang dari masa yang lebih tua” dan sangat mungkin menjadi sumber genetic dan nenek moyang orang Indonesia.
Meskipun orang Mentawai dan Nias memakai bahasa yang tergong dalam bahasa-bahasa Austronesia, sebagai cirri migrasi dari Formosa 5.000 tahun lalu, namun ciri-ciri genetic yang lebih tua mematahkan teori linguistic itu. Mentawai terpisah dari Sumatra sejak satu juta tahun yang lalu, dan migrasi manusia pertama ke Indonesia terjadi hanya 60 ribu tahun yang lalu. Pulau-pulau di sebelah barat Sumatra yang terpisah itu tampaknya tidak memiliki sejarah percampuran genetic dengan Pulau Sumatra dan Pulau-pulau besar di sekitarnya dalam waktu yang sangat lama. Kenyataan ini membawa kesimpulan ini membawa kesimpulan yang mungkin agan mengubah perkiraan masa migrasi manusia, karena orang Mentawai mungkin sudah ada di sana jauh sebelum migrasi pertama di perkirakan tiba 60 ribu tahun yang lalu.
Boedhihartono, pakar antropologi ragawi dari Universitas Indonesia memberikan kesimpulannya, “Orang Nias dan Mentawai adalah lapisan dasar orang Indonesia”. Bentuk tubuh, tulang, serta cirri-ciri cultural dan pola makananya,  mirip orang-orang di daerah Papua. Sumber makananya mirip dengan orang-orang di daerah Papua. Sumbar makanan orang Mentawai dan Papua sama sama-sama di dapat dari tanaman vegetatif seperti sagu, talas, dan pisang bukan dari tanaman dari biji atau benih. Mereka juga suka memakan tube-tube ulat sagu yang kaya protein seperti di Papua, orang Mentawai belum mengenal proses fermentasi dan pembuatan alcohol.
Secara linguistic masyarakat Ketapang, hampir seluruhnya menuturkan bahasa-bahasa Austonesia yang terbagi dalam sub-kelompok bahasa Melayu Polinesia Barat. Dalam konsep ini pencarian jejak-jejak leluhur di dekati berdasarkan kelompok dan subkelompok bahasa yang di tuturkan orang di wilayah tersebut.
Sebagaimana di katakana Oleh Swadesh ( 1965) bahwa ada 3 cara  utama dalam ilmu bahasa yang dapat membantu menjelaskan prasejarah :
a.       Dengan mengumpulkan fakta-fakta asal usul bersama bahasa-bahasa dan pemisahan yang terjadi sesudahnya, yang menyiratkan bahwa awalnya dan kesatuan bangsa-bangsa yang kemudian disusul terjadinya pemisahan.
b.      Dengan menemukan cirri-ciri yang tersebarnya di antara bahasa-bahasa (fonetik, tata bahasa, kosakata) yang mengandung bukti adanya kontak buadaya prasejarah
c.       Dengan menyusun kembali kosakata yang menunjukan tahap-tahap purba bahasa tersebut sehingga di peroleh petunjuk mengenai lingkungan fisik dan wujud buda-budaya pada masa prasejarah.
Begitu juga ahli bahasa lainya seperti Nothofer (1994) dan Collins ( 1994) telah melakukan kajian bahasa komperatif dan dialektologi atas bahasa-bahasa di Kalimantan. Menurutnya melalui pendektan ini akan diguanakan untuk mengkaji dasar dan kaedah bahasa seperti,(a). Inovasi yang di perlihatkan dalam dua atau lebih daripada dua varian bahasa menandakan hubungan kekerabatan yang purba dan penyebaran ciri-ciri linguistic memang berkaitan dengan penyebaran masyarkat, artinya melalui perbandingan cirri-ciri bahasa. Sejrah migrasi bangsa dapat ditelusuri.
Beberapa contoh dialek Ketapang yang masih dijumpai dalam percakapan di masyarakat. (disusun berdasarkan klasifikasi Collins dan Nothofer)
Bunyi Purba *-r menjadi hentian glottis (‘) dalam kata-kata tertentu :
* air                 ai’                    air
* ikur               eko’                 ekor
* t lur               t lu’                  telur
Hentian glottis (‘) ditambah pada akhir perkataan yang sebenarnya berakhir denga vocal dalam bahasa purba :
* agi                 agi’                   lagi
* asu                asu’                  anjing
* sawa             sawa’               ular sawa
* lama              lama’                lama
Perkataan yang berakhir dengan –h dalam bahasa purba memperlihatkan hentian glottis (‘) dalam varian-varian Ketapang :
* basuh            basu’                basuh
* getah             geta’                 karet
* mentah          menta’              mentah
Terdapat juga inovasi leksikal yang dijumpai dalam varian-varian ketapang, seperti :
* au’                            ya
* bula’                          bohong
* kula’                          kalian


Beberapa kosakata dalam dialek Ketapang tersebut di kelompokan oleh ahli lingguistik dalam bahasa Autronesia. Menurut Pawley ( 1981) dan Blust (1976), kesepadana bunyi menunjukan dengan legas bahwa tradisi budaya bendawi seperti tembikar, alat pertanian, alat perikanan, dan lain-lain terus berlanjut. Artinya, tradisi tersebut tidak pernah hilang sama sekali dari kelompok Autronesia dan tersebar luas. Dalam istilah Arkeologi, mereka adalah komunitas Neolitik.
Makna dari kata-kata yang terdapat dalam masyarakat budaya bandawi Ketapang mempunyai bentuk-bentuk kognat lebih dari satu kata dalam kelompok utama bahasa Pormusa (U), (B), (T). Kesamaan seperti ini menurut Belwood (1997) dapat dianggp sebagai calon pasti bahasa Proto-Autronesia. Oleh karenanya terdapat beberapa kemungkinan mengenai leluhur masyarkat Ketapang. :
1.      Masyarakat awal Ketapang adalah di huni oleh ras utama Austroloid-Melanesia (Austroloid) yang berbahasa Proto-Melayu Polenesia Barat dengan membawa buadaya bendawi Neolitik yang berimigrasi dari sebelah barat melalui Sumatra dan Kalimantan.
2.      Masyarakat awal Ketapang adalaj dihuni oleh komunitas yang bercirikan Mongoloid Selatan dari kelompok bahasa Melayu-Polisnesia Barat dengan membawa budaya bendawi Autronesia awal yang berimigrasi dari Formosa, melalui Filipina dan Kalimantan.
3.      Masyarakat awal Ketapang dihuni oleh komunitas dari variasi-variasi genetic Austroloid dan Mongoloid Selatan yang berbahasa Melayu-Polinesia Barat dengan membawa budaya bendawi Neolitik yang berpusat di Mentawai dan Nias sebagia “lapisan dasarnya”.

Leave a Reply