Best Blogger Template

Archive for 2011


Sejarah Masyarakat Awal Ketapang



Sejarah merupakan kehidupan masyarakat dalam mencari jati dirinya untuk menyonsong masa depan. Berbagai pertanyaan mendasar yang rumit untuk dijawab, seperti siapa manusia pertama yang menghuni wlayah ketapang, bagaimana mereka mencapainya, bagaimana mereka hidup di ekosistem hutan hujan tropika ini, apa bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi, bagaimana adapt budaya, dan seterusnya. Singkatanya, dari mana kita berasal ?
Wilayah kabupaten ketapang yang terletak di pulau Kalimantan ini pada masa Glasial merupakan daratan yang dulunya tergabung denga wilayah Malaysia, Vietnam, Sumatra, Jawa, Palawan, Calamian, Luzon, Taiwan dan pulau kecil lainnya yang disebut Paparan Sunda. Keragaman flora dan fauna di daratan hutan hujan ini dalam beberapa hal memiliki kasamaan jenis. Kondisi lingkungan yang seragam ini mempengaruhi penyebaran manusia modern pertama di wilayah ini.
Untuk memahami tentang asalusul, penyebaran dan pemilihan populasi masyarakat Ketapang, kami mencoba mengambil pendekatan genetic, yang mengkaji penyebaran factor-faktor tertentu keturunan, antropologi biologis yang berkaitan dengan kajian fenotipe, konsep lingguistik dan adapt budaya sejaman dari para peneliti yang telah ada untuk seluruh kawasan Indo-Malaysia.
Populasi masyarakat Ketapang saat ini sangat beragam, sebagaimana semua populasi manusia di wilayah Kalimantan. Kergaman itu tercermin pada berbagai tingkat mulai dari pribadi-pribadi, kelompok entoliguistik, zona-zona geografi dan akhirnya ketingkat ras-ras utama.
Para ahli sejarah, arkeologi dan antropologi, sepakat bahwa untuk populasi-populasi Indo-Malaysia, termasuk wilayah Ketapang untuk 40.000 tahun terakhir secara Hirarki tradisional paling atas termasuk dalam dua ras utama, yaitu ras Australo-Malanesia (Austaloid) dan Mongoloid Selatan.
Data arkeologi dari Situs Gua Niah (Serawak) yang di temukan serangkaian kerangka bertarik karbon sekitar 40.000 tahun dan penemuan kerangka manusia di Tabon (Filipina) bertarik karbon 22.000 tahun, memberikan bukti yang disimpulkan oleh Belwood (1997) bahwa, suatu populasi Australo-Malanesia sebelumnya sudah ada di daerah-daerah yang di dukung oleh orang Mongoloid Selatan sejak setidaknya 1000 SM.
Sisa-sisa sejak leluhur orang Australo-Malanesia yang masih ada sekarang adalah Orang Asli, di Kelantan (Malaysia), yaitu orang Negrito yang berburu dan mengumpulkan makanan dan orang Senoi yang bertani. Kelompok Negrito menurut saha dkk (1995) memiliki kecendungan cirri yang sama dengan orang Australo-Malanesia.
Eofrafi rahasia masa kini di wilayah Ketapang dan wilayah lainnya di Indonesia tidak seluruhnya di sebabkan oleh evolusi local yang terjadi sejak manusia-manusia yang secara anatomis modern pertama memasuki kawasan ini, dan bukannya tanpa perpindahan populasi. Memang benar menurut Belwood (1997) bahwa semua populasi mengalami seleksi alamiah dan bila kelompok-kelompok yang beranak pinak itu kecil, mereka terutama akan mengalami hayutan genetic (genetic driff) yang mengakibatkan polimorfisme dengan terbentuknya kelompok-kelompok yang mempunyai cirri genetic khusus. Bentuk-bentuk pemilahan kelompok yang terjadi di tempat local (in situ) dalam populasi-populasi yang agak atau pun sama sekali terisolasi.
Penduduk wilayah Ketapang dan Kalimantan umumnya sebagian besar termasuk dalam cirri fenotipe Mongoloid Selatan dengan penutur bahasa-bahasa Autronesia. Semuanya memiliki cukup kesamaan baik secara fisik, budaya, maupun bahasa, meskipun selama 2.000 tahun terakhir mengalami pengaruh yang silih berganti dari peradaban Hindu-Budha, Cina, dan Islam.
Ciri-ciri populasi mongoloid menurut Coon (1966) adalah “bangsa-bangsa ini sebagian besar pendek, dengan kaum prianya mempunya tinggi antara 157 dan 160 cm, berperawakan sedang, berkulit kekuning-kuningan atau coklat, kebanyakan berambut lurus. Diantara sebagian besar dari mereka, jarang terdapat kelopak mata mongol, seperti orang-orang Austroloid, kebanyakan di antara meraka bergigi besar. Meraka mewakili satu campuran yang kurang lebih seimbang antara unsure-unsur Mongoloid dan Austroloid, dengan variasi-variasi local”.
Cirri-ciri keturunanAustralo-Melanesia menurut Belwood (1997) mungkin lebih nyata terlihat pada populasi-populasi yang dulu disebut Proto-Melayu. Kelompok ini memang di bedakan dengan Deutro-Melayu yang oleh beberapa ahli masih di anggap mewakili migrasi kedua yang memasuki kawasan Kalimantan dan terjadi lebih kemudian. Orang-orang yang disebut sebagai Proto-Melayu mancakup banyak orang pedalaman dari pulau-pulau lebih besar di Indonesia dan Filipina.
Ekspansi orang-orang mongoloid terus berlanjut sampai masa-masa sejarah, yang menyebabkan aliran-aliran gen Mongoloid terus memasuki Indonesia. Jelaslah bahwa yang dinamakan “Proto-Melayu”, sebenarnya adalah populasi di daerah-daerah lebih mudah di capai, sehingga mereka dapat melakukan lebih banyak kontak dengan dunia Mongoloid Asia. Sehingga jika  dimungkin situasi di Indonesia disederhanakan, dapat dikatakan bahwa Fenotipe Mongoloid mendominasi wilayah barat dan utara dan berangsur-angsur keselatan dan timur.
Pemilihan polulasi manusia berdasarkan indentifikasi garis genetic yng spesipik untuk populasi dalam asam deoksiribonukleat DNA mitokondia (DNAmt) pada kawasan Indo-Malaysia menunjukan arti penting China  bagian selatan sebagai kawasan utama bagi penyebaran manusia. DNAmt merupakan kode genetic atau genom yang diteruskan untuh dari ibu ke anak. Dan sebagian besar kromosom Y, yang menentukan laki-laki bepindah utuh dari ayah ke anak laki-laki. Mutasi yang di akumulasikan dalam DNAmt anda dan kromosom Y (untuk laki-laki) anda hanyalah laksana dua benang dalam permadani luas orang-orang memberi kontribusi terhadap genom anda.
Kode-kode genetika manusia atau genom menurut Siireeve (2006), adalah 99,9 % identik di seluruh dunia. Selebinya ialah DNA yang bertanggung jawab  terhadap perbedaan individual kita warna mata atau resiko penyakit, contohnya begitu pula sebagian DNA yang tidak begitu jelas fungsinya sama sekali. Suatu ketika dalam perubahan genetika yang DNA yang tidak berfungsi ini, yang kemdian diwariskan ke semua keturunan orang itu. Pada generasi-generasi berikutnya ditemukan bahwa mutasi yang sama atau pemetaan dalam DNA dua orang, menunjukan bahwa mereka memiliki leluhur yang sama.
Hasil penelitian keanekaragaman genetic Indosial yang dilakakuan oleh Lembaga Eijkman Jakarta telah memetakan bagaimana DNA yang unik pada setiap individu itu menyebar dan manggambarkan bak sebuah peta penggambarkan manusia di Kepulauan Indonesia. Hasil pemetaan itu mendukung teori penyebaran bahasan yang dianggap paralel dengan penyebaran variasi genetis manusia. Satu kelompok yang memilki bahasa yang sama, umumnya berasal dari nenek moyang yang sama pula.
Hasil pengujian DNA berbagai etnis di Indonesia tersebut menunjukan sekitar 60 ribu hingga 40 ribu SM terjadi migrasi manusia memasuki Indonesia dari daratan Asia, yang sisanya masih bias kita lihat di Papua dan daerah Alor yang berbahasa Malenesia. Diusul migrasi dari Formosa sekitar 3.000 tahun SM melewati Filipina, sulawesi, lalu menyebar ke Sumatra, Jawa, dan Kalimantan yang berbahasa Austonesia. Dari penelitian ini juga menunjukan ini  adanya migrasi balik dari Papua ke NTT, karena adanya campuran antara orang berbahasa Austonesia dengan Austroloid. Penampilan fisik orang-orang Alor di NTT sama dengan orang-orang Papua yang tergolong Austroloid dari berbahasa Malenesia. Aliran migrsi balik ini baik belum diletakan dalam peta migrasi yang selama ini diketahui secara luas.
Menuruh Herawati dari Lembaga Eijkman bahwa variasi mutasi genetic orang-orang Nias dan Mentawai ternyata berbeda dengan kebayakan orang Indonesia yang tiba pada masa migrasi dari Formosa, terutama dengan populasi di daerah Sumatra, Jawa dan Borneo yang dulu pernah menjadi satu. Variasi genetis itu menjelaskan bahwa mereka “Datang dari masa yang lebih tua” dan sangat mungkin menjadi sumber genetic dan nenek moyang orang Indonesia.
Meskipun orang Mentawai dan Nias memakai bahasa yang tergong dalam bahasa-bahasa Austronesia, sebagai cirri migrasi dari Formosa 5.000 tahun lalu, namun ciri-ciri genetic yang lebih tua mematahkan teori linguistic itu. Mentawai terpisah dari Sumatra sejak satu juta tahun yang lalu, dan migrasi manusia pertama ke Indonesia terjadi hanya 60 ribu tahun yang lalu. Pulau-pulau di sebelah barat Sumatra yang terpisah itu tampaknya tidak memiliki sejarah percampuran genetic dengan Pulau Sumatra dan Pulau-pulau besar di sekitarnya dalam waktu yang sangat lama. Kenyataan ini membawa kesimpulan ini membawa kesimpulan yang mungkin agan mengubah perkiraan masa migrasi manusia, karena orang Mentawai mungkin sudah ada di sana jauh sebelum migrasi pertama di perkirakan tiba 60 ribu tahun yang lalu.
Boedhihartono, pakar antropologi ragawi dari Universitas Indonesia memberikan kesimpulannya, “Orang Nias dan Mentawai adalah lapisan dasar orang Indonesia”. Bentuk tubuh, tulang, serta cirri-ciri cultural dan pola makananya,  mirip orang-orang di daerah Papua. Sumber makananya mirip dengan orang-orang di daerah Papua. Sumbar makanan orang Mentawai dan Papua sama sama-sama di dapat dari tanaman vegetatif seperti sagu, talas, dan pisang bukan dari tanaman dari biji atau benih. Mereka juga suka memakan tube-tube ulat sagu yang kaya protein seperti di Papua, orang Mentawai belum mengenal proses fermentasi dan pembuatan alcohol.
Secara linguistic masyarakat Ketapang, hampir seluruhnya menuturkan bahasa-bahasa Austonesia yang terbagi dalam sub-kelompok bahasa Melayu Polinesia Barat. Dalam konsep ini pencarian jejak-jejak leluhur di dekati berdasarkan kelompok dan subkelompok bahasa yang di tuturkan orang di wilayah tersebut.
Sebagaimana di katakana Oleh Swadesh ( 1965) bahwa ada 3 cara  utama dalam ilmu bahasa yang dapat membantu menjelaskan prasejarah :
a.       Dengan mengumpulkan fakta-fakta asal usul bersama bahasa-bahasa dan pemisahan yang terjadi sesudahnya, yang menyiratkan bahwa awalnya dan kesatuan bangsa-bangsa yang kemudian disusul terjadinya pemisahan.
b.      Dengan menemukan cirri-ciri yang tersebarnya di antara bahasa-bahasa (fonetik, tata bahasa, kosakata) yang mengandung bukti adanya kontak buadaya prasejarah
c.       Dengan menyusun kembali kosakata yang menunjukan tahap-tahap purba bahasa tersebut sehingga di peroleh petunjuk mengenai lingkungan fisik dan wujud buda-budaya pada masa prasejarah.
Begitu juga ahli bahasa lainya seperti Nothofer (1994) dan Collins ( 1994) telah melakukan kajian bahasa komperatif dan dialektologi atas bahasa-bahasa di Kalimantan. Menurutnya melalui pendektan ini akan diguanakan untuk mengkaji dasar dan kaedah bahasa seperti,(a). Inovasi yang di perlihatkan dalam dua atau lebih daripada dua varian bahasa menandakan hubungan kekerabatan yang purba dan penyebaran ciri-ciri linguistic memang berkaitan dengan penyebaran masyarkat, artinya melalui perbandingan cirri-ciri bahasa. Sejrah migrasi bangsa dapat ditelusuri.
Beberapa contoh dialek Ketapang yang masih dijumpai dalam percakapan di masyarakat. (disusun berdasarkan klasifikasi Collins dan Nothofer)
Bunyi Purba *-r menjadi hentian glottis (‘) dalam kata-kata tertentu :
* air                 ai’                    air
* ikur               eko’                 ekor
* t lur               t lu’                  telur
Hentian glottis (‘) ditambah pada akhir perkataan yang sebenarnya berakhir denga vocal dalam bahasa purba :
* agi                 agi’                   lagi
* asu                asu’                  anjing
* sawa             sawa’               ular sawa
* lama              lama’                lama
Perkataan yang berakhir dengan –h dalam bahasa purba memperlihatkan hentian glottis (‘) dalam varian-varian Ketapang :
* basuh            basu’                basuh
* getah             geta’                 karet
* mentah          menta’              mentah
Terdapat juga inovasi leksikal yang dijumpai dalam varian-varian ketapang, seperti :
* au’                            ya
* bula’                          bohong
* kula’                          kalian


Beberapa kosakata dalam dialek Ketapang tersebut di kelompokan oleh ahli lingguistik dalam bahasa Autronesia. Menurut Pawley ( 1981) dan Blust (1976), kesepadana bunyi menunjukan dengan legas bahwa tradisi budaya bendawi seperti tembikar, alat pertanian, alat perikanan, dan lain-lain terus berlanjut. Artinya, tradisi tersebut tidak pernah hilang sama sekali dari kelompok Autronesia dan tersebar luas. Dalam istilah Arkeologi, mereka adalah komunitas Neolitik.
Makna dari kata-kata yang terdapat dalam masyarakat budaya bandawi Ketapang mempunyai bentuk-bentuk kognat lebih dari satu kata dalam kelompok utama bahasa Pormusa (U), (B), (T). Kesamaan seperti ini menurut Belwood (1997) dapat dianggp sebagai calon pasti bahasa Proto-Autronesia. Oleh karenanya terdapat beberapa kemungkinan mengenai leluhur masyarkat Ketapang. :
1.      Masyarakat awal Ketapang adalah di huni oleh ras utama Austroloid-Melanesia (Austroloid) yang berbahasa Proto-Melayu Polenesia Barat dengan membawa buadaya bendawi Neolitik yang berimigrasi dari sebelah barat melalui Sumatra dan Kalimantan.
2.      Masyarakat awal Ketapang adalaj dihuni oleh komunitas yang bercirikan Mongoloid Selatan dari kelompok bahasa Melayu-Polisnesia Barat dengan membawa budaya bendawi Autronesia awal yang berimigrasi dari Formosa, melalui Filipina dan Kalimantan.
3.      Masyarakat awal Ketapang dihuni oleh komunitas dari variasi-variasi genetic Austroloid dan Mongoloid Selatan yang berbahasa Melayu-Polinesia Barat dengan membawa budaya bendawi Neolitik yang berpusat di Mentawai dan Nias sebagia “lapisan dasarnya”.

Read More

Unsur Pokok Al Faatihah Yang Mencerminkan Seluruh isi Al Quraan


1.    Keimanan :

       Beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa terdapat dalam ayat 2, dimana dinyatakan dengan tegas bahwa segala puji dan ucapan syukur atas suatu ni'mat itu bagi Allah, karena Allah adalah Pencipta dan sumber segala ni'mat yang terdapat dalam alam ini.

       Diantara ni'mat itu ialah : ni'mat menciptakan, ni'mat mendidik dan menumbuhkan, sebab kata "Rab" dalam kalimat "Rabbul-'aalamiin" tidak hanya berarti "Tuhan" atau "Penguasa", tetapi juga mengandung arti tarbiyah yaitu mendidik dan menumbuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa segala ni'mat yang dilihat oleh seseorang dalam dirinya sendiri dan dalam segala alam ini bersumber dari Allah, karena Tuhan-lah Yang Maha Berkuasa di alam ini.

       Pendidikan, penjagaan dan Penumbuahn oleh Allah di alam ini haruslah diperhatikan dan dipikirkan oleh manusia sedalam-dalamnya, sehingga menjadi sumber pelbagai macam ilmu pengetahuan yang dapat menambah keyakinan manusia kepada keagungan dan kemuliaan Allah, serta berguna bagi masyarakat. Oleh karena keimanan (ketauhidan) itu merupakan masalah yang pokok, maka didalam surat Al Faatihah tidak cukup dinyatakan dengan isyarat saja, tetapi ditegaskan dan dilengkapi oleh ayat 5, yaitu : "Iyyaaka na'budu wa iyyaka nasta'iin" ( hanya Engkau-lah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan).

      Janji memberi pahala terhadap perbuatan yang baik dan ancaman terhadap perbuatan yang buruk. Yang dimaksud dengan "Yang Menguasai Hari Pembalasan" ialah pada hari itu Allah-lah yang berkuasa, segala sesuatutunduk kepada kebesaran-Nya sambil mengharap ni'mat dan takut kepada siksaan-Nya. Hal ini mengandung arti janji untuk memberi pahala terhadap perbuatan yang baik dan ancaman terhadap perbuatan yang buruk. "Ibadat" yang terdapat pada ayat 5 semata-mata ditujukan kepada Allah, selanjutnya lihat not 6 .

2.    Hukum-hukum :

      Jalan kebahagiaan dan bagaimana seharusnya menempuh jalan itu untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Maksud "Hidayah" disini ialah hidayah yang menjadi sebab dapatnya keselamatan, kebahagiaan dunia dan akhirat, baik yang mengenai kepercayaan maupun akhlak, hukum-hukum dan pelajaran.

3.    Kisah-kisah :

      Kisah para Nabi dan kisah orang-orang dahulu yang menentang Allah. Sebahagian besar dari ayat-ayat Al Quraan memuat kisah-kisah para Nabi dan kisah orang-orang dahulu yang menentang. Yang dimaksud dengan orang yang diberi ni'mat dalam ayat ini, ialah para Nabi, para shiddieqiin (orang-orang yang sungguh-sungguh beriman), syuhadaa' (orang-orang yang mati syahid), shaalihiin (orang-orang yang saleh). "Orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat,"ialah golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.

     Perincian dari yang telah disebutkan diatas terdapat dalam ayat-ayat Al Quraan pada surat-surat yang lain.

Read More

Sejarah Kota Ketapang




Dalam Atlas Sejarah yang disusun oleh Muhammad Yamin (1965) untuk mengidentifikasi Nusantara Raya menurut Mpu Prapanca di dalam naskah Nagarakertagama, wilayah geografi kota Ketapang saat ini diberi nama Tandjungpura. Kemudian dalam peta pada masa kesultanan Riau-Johor (Harun : 2003), wilayah kota Ketapang dinamai Matan.
Perubahan nama wilayah geografis dari Tanjung Pura menjadi Matan dan kemudian Ketapang, tidak diketahui dengan pasti karena tidak ada catatan sejarah atau prasasti yang menunjukkan peristiwa itu. Namun perubahan nama tempat atau kota pada masa kerajaan diduga akibat perubahan letak kerajaan atau berubahnya raja yang berkuasa ditempat itu akibat suatu peristiwa tertentu (perang, bencana alam dan keputusan raja).
Kepastian sejarah mengenai berdirinya Kota Ketapang hingga saat ini masih samar. Namun dapat dikatakan bahwa Kota Ketapang merupakan salah satu kota tertua di wilayah Kalimantan Barat yang dibuktikan dengan keberadaan Kerajaan Tanjungpura - Matan di wilayah Kota Ketapang yang merupakan kerajaan tertua di Kalimantan Barat. Dugaan itu setidaknya didasarkan beberapa kronik Cina, Nagarakertagama, prasasti Waringin Pitu dan penelitian para ahli linguistik di kepulauan Indo-Malaya.
Dalam kronik Cina Chu Fan Chi yang dibuat oleh Chau Ju Kwa tahun 1225 M, Tanjungpura disebut dengan nama Tan-jung-wu-lo, dikatakan bahwa daerah ini sekitar tahun 1200 M merupakan jajahan raja Jawa. Periode sezaman dengan tarikh kronik ini, di Jawa berkuasa Raja Jenggala - Kediri terakhir yaitu Sri Jayawarsa/Kertajaya (1190 - 1205 M) serta merupakan periode pertama berdirinya kerajaan Singasari dengan rajanya yaitu Sri Ranggah Rajasa/Ken Arok (1222 - 1227 M). Maka apabila menggunakan tarikh dalam kronik Cina ini, Tanjungpura baik sebagai kerajaan maupun sebagai kota sudah berdiri pada sebelum tahun 1200 M. Namun letak wilayah geografisnya sulit ditentukan apakah dalam batasan "Kota Ketapang".
Chau Ju Kwa adalah seorang pedagang yang kemungkinan singgah di kota Tan Jung Wu Lo yang terletak di tepi pantai atau di dekat sungai. Sebagai pedagang antar negara, "perahu" yang dibawanya tentulah dengan tonase cukup besar, dan hanya bisa berlabuh dialur yang dalam dan luas. Diduga saat itu, lokasi kota Tan Jung Wu Lo berada dekat dengan pelabuhan, dan wilayah geografisnya saat ini mungkin terletak di "Ketapang Kecik", Kandang Kerbau (Sukabangun), atau sekitar kuala sungai pawan (Negeri Baru).
Dalam Nagarakertagama, Tanjungpura disebut sebagai daerah bawahan Majapahit. Naskah Nagarakertagama oleh Prapanca selesai ditulis pada tahun 1365 M, periode Raja Hayam Wuruk berkuasa (1350 - 1389 M). Selain menceritakan tentang kerajaan Majapahit, naskah tersebut juga menceritakan kerajaan Singasari (1222 - 1292 M). Salah satu alur sejarah yang dapat dicermati yaitu pada saat pelantikan Gajah Mada menjadi Mahapatih Amangkubumi (1334 M) oleh Sri Tribuana Tunggadewi (1328 - 1350 M) dia mengucapkan sumpah setianya (disebut Sumpah Palapa), dan Tanjungpura pada saat itu belum merupakan daerah bawahan Majapahit. Oleh karenanya salah satu isi sumpah Gajah Mada adalah akan menundukkan Tanjungpura (Atmodarminto : 2000).
Dalam Prasasti Waringin Pitu (1447 M), Tanjungpura (Tanjungnagara) sudah merupakan nama ibu kota negara bagian Majapahit untuk wilayah Pulau Kalimantan (Sehieke 1959). Pada masa itu, Majapahit dipimpin oleh raja Dyah Kertawijaya/Prabu Kertawijaya Brawijaya I (1447 - 1450 M). Letak geografis kota Tanjungpura tersebut sebagaimana yang identifikasi Pigeaud (1963), Djafar (1978), dan Muhammad Yamin (1965), adalah terletak didalam batasan wilayah "Kota Ketapang" yaitu sebelah selatan kota Ketapang (sekarang Negeri Baru).
Versi lain mengenai berdirinya kota Ketapang dapat ditinjau dari peristiwa sejarah yang sangat penting pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin di Kerajaan Matan, yaitu peristiwa perampasan kekuasaan oleh saudaranya sendiri Pangeran Agung pada tahun 1710 M. Pangeran Agung yang gagal merebut tahta saudaranya, dipenjarakan (diasingkan) oleh Sultan Muhammad Zainuddin dengan membuatkannya suatu kota kecil lengkap dengan pelayannya (gundik) 40 orang. Dalam Sejarah Kalimantan Barat (Loutan 1973) daerah tersebut adalah Darul Salam. Orang Ketapang menyebut daerah tersebut Tembalok (tempat penjara raja) atau Sei Awan seberang Sukabangun. Dalam sejarah kerajaan Riau Johor dikatakan "dikurung dalam kota kecil sampai mati" (Ahmad 1985).
Hingga saat ini kesepakatan tentang hari jadi Kota Ketapang masih dalam proses kajian. Data diatas dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam penentuan hari jadi Kota Ketapang secara legal formal (berdasarkan rujukan hasil Diskusi Panel Adat Budaya dan Kelestariannya di Musyawarah Besar II Ikatan Keluarga Kerajaan Matan dan Tanjungpura tanggal 7 s.d 8 Agustus 2004).

Read More

Sejarah Singkat Kabupaten Ketapang



Pada masa pemerintah Hindia Belanda, sejak tahun 1936 Kabupaten Ketapang adalah salah satu daerah Afdeling (Kekuasaan), yaitu merupakan bagian karesidenan Kalimantan Barat (Residentis Westerm Afdeling Van Borneo) dengan pusat pemerintahannya di Pontianak. Kabupaten Ketapang pada waktu itu dibagi menjadi tiga Onder Afdeling yang dipimpin oleh seorang Wedana, yaitu :
1.      Onder Afdeling Sukadana di Sukadana terdiri dari 3 Onder Distrik yaitu :
a.       Onder Distrik Sukadana
b.      Onder Distrik Simpang Hilir
c.       Onder Distrik Simpang Hulu
2.      Onder Afdeling Matan Hilir di Ketapang terdiri dari 2 (dua) Onder Distrik yaitu :
a.       Onder Distrik Matan Hilir
b.      Onder Distrik Kendawangan
3.      Onder Afdeling Matan Hulu di Nanga Tayap terdiri dari 4 (empat) Onder Distrik yaitu :
a.       Onder Distrik Sandai
b.      Onder Distrik Nanga Tayap
c.       Onder Distrik Tumbang Titi
d.      Onder Distrik Marau
Afdeling Ketapang sendiri dibagi menjadi 3 (tiga) kerajaan yang dipimpin oleh seorang Panembahan, yaitu :
1.      Kerajaan Matan :
·      Onder Afdeling Matan Hilir
·      Onder Afdeling Matan Hulu
2.      Kerajaan Sukadana :
·      Onder Afdeling Sukadana
3.      Kerajaan Simpang :
·      Onder Afdeling Simpang Hilir
·      Onder Afdeling Simpang Hulu
Sampai dengan tahun 1942 kerajaan diatas masing-masing dipimpin oleh :
1.      Gusti Muhammad Saunan di Kerajaan Matan.
2.      Tengku Betung di Kerajaan Sukadana.
3.      Gusti Mesir di Kerajaan Simpang.
Setelah masa pemerintahan Hindia Belanda berakhir dengan datangnya Jepang tahun 1942, Kabupaten Ketapang masih dalam status Afdeling. Perbedaannya terletak pada pimpinannya yang diambil alih langsung oleh Jepang.
Setelah masa kemerdekaan Republik Indonesia, dimana masih terjadi perebutan kekuasaan dengan pihak Pemerintah Belanda (NICA), bentuk pemerintahan di Ketapang masih tetap dipertahankan sebagaimana sebelumnya yaitu berstatus Afdeling yang disempurnakan dengan Staatsblad 1948 No. 58 dengan pengakuan adanya pemerintahan swapraja. Pada waktu itu Ketapang dibagi menjadi 3 (tiga) daerah swapraja, yaitu : Sukadana, Simpang dan Matan yang kemudian digabung menjadi sebuah federasi.
Pada masa pemerintahan Republik Indonesia, menurut Undang-undang No. 25 tahun 1956 maka Kabupaten Ketapang mendapat status sebagai bagian daerah otonom Propinsi Kalimantan Barat yang dipimpin oleh seorang Bupati sebagai Kepala Daerah. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang pembentukan Kabupaten Kayong Utara di Propinsi Kalimantan Barat, maka sejak tanggal 26 Juni 2007, 5 (lima) wilayah kecamatan di Kabupaten Ketapang dimekarkan menjadi satu kabupaten baru dengan nama Kabupaten Kayong Utara.
Nama-nama Kepala Daerah yang pernah menjabat di Kabupaten Ketapang sejak 1947 sampai sekarang, adalah :
1.      R. Soedarto (1947 - 1952)
2.      R.M. Soediono (1952 - 1954)
3.      M. Hadariah (1955 - 1958)
4.      Herkan Yamani (1959 - 1964)
5.      Drs. Muehardi (1965 - 1966)
6.      M. Tohir (1966 - 1970)
7.      Denggol (Pj) (1970 - 1972)
8.      Zainal Arifin (1973 - 1978)
9.      Soehanadi (1978 - 1983)
10.  Gusti Muh. Syafril (1983 - 1988)
11.  Mas'ud Abdullah, SH (1988 - 1992)
12.  Drs. H. Soenardi Basnu (1992 - 1998)
13.  H. Prijono, BA (Plt) (1998 - 2001)
14.  H. Morkes Effendi, S.Pd, MH (2001 – 2010)

Read More

Sejarah Singkat Imam Syafi'i

Sejarah Singkat Imam Syafi'i

 

Nama dan Nasab

Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.
Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
 

Waktu dan Tempat Kelahirannya

Beliau dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
 

Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu

Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Alquran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
 

Keteguhannya Membela Sunnah

Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.”
Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
 

Wafatnya

Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus”
 

Karangan-Karangannya

Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.

Read More

PERIHAL MASJID MENURUT HADITS

 
1.      Semua lahan adalah mesjid, kecuali kuburan dan tempat pemandian. (HR. Ahmad)
2.      Rasulullah Saw menyuruh kita membangun masjid-masjid di daerah-daerah dan agar masjid-masjid itu dipelihara kebersihan dan keharumannya. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
3.      Aku tidak menyuruh kamu membangun masjid untuk kemewahan (keindahan) sebagaimana yang dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani. (HR. Ibnu Hibban dan Abu Dawud)
4.      Janganlah menjadikan kuburanku sebagai tempat pemujaan berhala. Allah melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan-kuburan para nabi sebagai masjid-masjid. (HR. Bukhari dan Abu Ya'la)
5.      Mimbarku (terletak) di tepi jalur menuju surga. Antara mimbarku dan kamarku adalah taman dari taman-taman surga. (HR. Ahmad)
6.      Tidak dibenarkan ziarah (kunjungan) ke masjid-masjid kecuali pada ketiga masjid, yaitu masjidil Haram (Mekah), masjidil Aqsha (Baitul Maqdis), dan masjidku ini (Madinah). (HR. Bukhari dan Muslim)
7.      Shalat di masjidku ini lebih afdol (utama) dari seribu shalat di masjid-masjid lainnya, kecuali masjidil Haram, dan shalat di masjidil Haram lebih afdol (utama) dari seratus shalat di masjidku ini. (HR. Ahmad)
8.      Apabila seorang mengantuk saat shalat Jum'at di masjid maka hendaklah pindah tempat duduknya ke tempat duduk lainnya. (HR. Al Hakim dan Al-Baihaqi)
9.      Bila seorang masuk ke masjid hendaklah shalat (sunnat) dua rakaat sebelum duduk. (HR. Ahmad)
10.  Apabila seorang isteri minta ijin suaminya untuk pergi ke masjid maka janganlah sang suami melarangnya. (HR. Bukhari)
11.  Sebaik-baik masjid (tempat bersujud) untuk wanita ialah dalam rumahnya sendiri. (HR. Al-Baihaqi dan Asysyihaab)
12.  Tidak ada shalat bagi tetangga masjid, selain dalam masjid. (HR. Adarqathani)
13.  Apabila kamu melihat orang yang terbiasa masuk masjid maka saksikanlah bahwa dia beriman karena sesungguhnya Allah telah berfirman dalam surat At taubah ayat 18: "Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah lah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah. Maka mereka lah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk." (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
14.  Beritakanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan kaki di malam gelap-gulita menuju masjid bahwa bagi mereka cahaya yang terang-benderang di hari kiamat. (HR. Al Hakim dan Tirmidzi)
15.  Barangsiapa membangun untuk Allah sebuah masjid (mushola) walaupun sebesar kandang unggas (rumah gubuk) maka Allah akan membangun baginya rumah di surga. (HR. Asysyihaab dan Al Bazzar)
16.  Nabi Saw bertanya kepada malaikat Jibril As, "Wahai Jibril, tempat manakah yang paling disenangi Allah?" Jibril As menjawab, "Masjid-masjid dan yang paling disenangi ialah orang yang pertama masuk dan yang terakhir ke luar meninggalkannya." Nabi Saw bertanya lagi," Tempat manakah yang paling tidak disukai oleh Allah Ta'ala?" Jibril menjawab, "Pasar-pasar dan orang-orang yang paling dahulu memasukinya dan paling akhir meninggalkannya." (HR. Muslim).

Read More